Nasib Industri Properti setelah NJOP di DKI naik 19,54%

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) DKI Jakarta naik 19,54% dari tahun lalu. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta yang diteken Anies Baswedan pada April 2018 lalu. Lalu, bagaimana nasib pengusaha industri properti pasca kebijakan ini?

Menurut Dewan Pimpinan Daerah Real Estate Indonesia (DPD REI) DKI Jakarta Bambang Ekajaya kenaikan NJOP ini memiliki dampak bagi bisnis properti. Menurutnya saat ini orang menjadikan properti bukan sebagai kebutuhan utama dikarenakan harga yang sangat mahal.

“Pada saat sekarang ini kebanyakan orang tidak mau beli properti, selain masalah harga ada juga masalah perpajakannya,” ujar Bambang saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (5/7).

Dengan kenaikan NJOP yang diberlakukan, bisnis properti juga menjerit. Bagaimana tidak, NJOP yang cukup tinggi berpengaruh pada nominal harga yang tidak rasional.

“Jadi sekarang ini properti boleh di bilang memang berkesan tinggi dengan real price yang tidak sesuai. Kalau kita mau jual, sangat sulitlah kondisi sekarang,” tegasnya.

“Ada properti yang saya mau jual NJOP-nya Rp 5 miliar, tapi penawarannya Rp 3 miliar, kan jomplang,” tambahnya.

Bambang lalu mencontohkan kawasan dengan nilai NJOP yang tidak rasional terletak di kawasan elit Menteng Jakarta Pusat. Menurutnya dikawasan Menteng NJOP yang berlaku adalah dikisaran Rp 70 juta hingga Rp 80 juta per meter. Sehingga jika dikalikan dengan luas lahan 1000 meter persegi maka didapatlah biaya NJOP senilai Rp 300 juta hingga Rp 400 juta.

“Dan itu kan tidak masuk akal. Maka yang terjadi adalah sebagian menjual dan sebagian tidak membayar.” tegasnya.

Sumber: Kontan.

Ikuti kami di akun media sosial resmi TAXVISORY:

LinkedIn

Facebook Page

Instagram Page