WANITA KAWIN YANG PISAH HARTA DAN KEWAJIBAN PAJAKNYA

Rencana implementasi NIK jadi NPWP mundur ke 1 Juli 2024 (Kompas, 12 Desember 2023). Dengan integrasi nanti, semua WNI yang NIK-nya valid maka tidak dapat mengelak jika memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk diberikan NPWP. Sebagaimana UU KUP dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) berbunyi: “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.”

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPH). Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/ pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

Wanita kawin yang tidak membuat perjanjian pisah harta dan penghasilan, dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.

Bagaimana jika perjanjian pisah harta dibuat selama dalam masa perkawinan? Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 telah mengijinkan pisah harta dilakukan dalam masa perkawinan bagi pasangan yang sebelum kawin tidak mengadakan perjanjian kawin.

Artinya, dengan dibuatnya akta tersebut istri yang semula belum ber-NPWP maka kemudian wajib ber NPWP.

 Lalu, sehubungan integrasi NPWP dengan NIK, bagaimana perlakuannya? Jika sebelumnya istri tidak ber-NPWP maka selanjutnya istri wajib mulai memiliki NPWP yang berbeda nomornya dengan suami. Dalam hal ini istri akan memiliki kewajiban menyampaikan sendiri laporan SPT Tahunan (SPT 1770).

Namun, Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UU PPH mengatur bahwa Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dikenai Pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka. Dengan kata lain, walaupun membuat perjanjian pisah harta, saat penghitungan masing-masing pajak tahunannya, pasutri menghitung dahulu berapa angka penghasilan neto lalu menggabungkan keduanya, baru menerapkan formula pengurang seperti PTKP, bukti potong, kredit pajak, dan hasilnya dikalkulasikan dengan tarif PPh Pasal 17.

Angka akhir “PPh Yang masih harus dibayar” dilakukan pembagian porsi masing-masing PPh terutang suami/istri sesuai perbandingan neto suami/istri dengan neto gabungan dikalikan total PPh Yang Masih Harus Dibayar tersebut.

Demikian semoga bermanfaat, jika ada pertanyaan silakan hubungi TAXVISORY di taxvisory.co.id

TAXVISORY menyediakan jasa penghitungan, pelaporan pajak, perencanaan pajak, pendampingan atas pemeriksaan pajak yang selalu terbaharui dengan peraturan dan regulasi pajak terbaru. Ketemuan aja dulu…

Silahkan tanya dan hubungi kami di 021-39728888, admin@taxvisory.co.id.

LinkedIn
Facebook Page
Instagram Page