KEKELIRUAN PEMAHAMAN BUKTI POTONG (BUPOT) PPH DALAM KEGIATAN NOTARIS/PPAT

KEKELIRUAN PEMAHAMAN BUKTI POTONG (BUPOT) PPH DALAM KEGIATAN NOTARIS/PPAT

Dalam pelaporan kewajiban perpajakan tahunan, setiap wajib pajak baik badan maupun orang pribadi memperoleh kesempatan untuk menghitung kembali pajak-pajak yang telah disetorkan dalam kurun 1 (satu) tahun pajak tertentu, atas penghasilan yang diterimanya. Bagi wajib pajak badan (yang merupakan pengguna jasa, tidak termasuk wajib pajak orang pribadi) membayar upah jasa kepada wajib pajak badan lainnya maupun orang pribadi (selaku pemberi jasa), maka wajib pajak pembayar upah tersebut wajib melakukan pemotongan PPh atas jasa. Jenis PPh atas jasa ini adalah PPh Pasal 23 selain jasa pekerjaan bebas yang sudah dipotong PPh Pasal 21 seperti jasa penilai, arsitek, konsultan, pengacara, akuntan, notaris/ppat, dokter, dan aktuaris. Ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015.

Dari golongan pekerjaan bebas tersebut, notaris/ppat memiliki kemungkinan dikenakan tidak hanya PPh Pasal 21 tetapi juga PPh Pasal 23 berdasarkan PMK 141 tersebut.

Panduan kunci bagi notaris/ppat adalah: semua pembayaran honor atas pembuatan akta, pebgesaha surat di bawah tangan (legalisasi), pencatatan surat di bawah tangan (waarmerkt), dan fotokopi sesuai asli (legalisir) dikenakan PPh Pasal 21, sedangkan pembayaran lainnya atas jasa di luar 4 jenis kegiatan tersebut akan dikenakan PPh Pasal 23.

Persoalan yang sering terjadi:

  1. Pengguna Jasa yang membayarkan honor/upah, karena kekurangpahaman, tidak membedakan jenis PPh tersebut sehingga masih banyak kesalahan penerapan jenis PPh yang sesuai dengan jenis jasa yang diberikan;
  2. Meskipun jenis PPh-nya benar, namun jumlah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dapat keliru. Misal: Pembayaran gabungan atas pekerjaan notaris/ppat dijadikan nilai total DPP dan dihitung pajaknya. Padahal dalam nilai gabungan tersebut tidak hanya honor akta, tetapi juga ada komponen PNBP, biaya Roya, dan biaya lainnya.
  3. Nama wajib pajak yang dipotong bukan nama notaris/ppat melainkan klien yang bertransaksi. Misal atas akta fidusia, bendahara Lembaga Pembiayaan memotong PPh atas pembayaran honor notaris namun yang dicantumkan nama debitur/klien.
  4. Pembayar jasa yang memotong PPh tidak memberikan Bukti Potong PPh kepada notaris/ppat.
  5. Pembayar jasa memotong PPh dengan jenis PPh yang benar namun mengenakan besaran tarif yang salah.

Terhadap hal-hal tersebut pemerintah belum secara menyeluruh melakukan perbaikan prosedur/administrasi pemotongan dan pemberian sanksi kepada pembayar honor/upah jika ada kekeliruan atau tidak memberikan bupot. Salah satu alternatif solusi bagi wajib pajak adalah mendatangi KPP terdaftar dan meminta bantuan Akun Representatif (AR).

Jika ingin mendapatkan informasi lebih jelas dan mempunyai permasalahan tersebut, anda dapat menghubungi kami. (By Ara-Taxvisory, 021-39722777 atau 021-3972888, admin@taxvisory.co.id).

LinkedIn
Facebook Page
Instagram Page