Pemerintah akan Pakai Teknologi Canggih Buru Aset Pajak

Kementerian Keuangan akan mengalokasikan dana ratusan juta dolar untuk membarui teknologi yang sudah ketinggalan zaman untuk meningkatkan pemenuhan kewajiban pajak yang masih rendah dan menaikkan pendapatan pajak, Reuters melaporkan, Rabu (4/4).

Pemerintah menyelesaikan salah satu program amnesti pajak paling sukses di dunia pada 2017. Namun kesuksesan itu juga menciptakan masalah. Direktorat Jenderal Pajak harus menggunakan teknologi lama atau bahkan dengan cara manual untuk mengatasi data-data baru yang jumlahnya sangat banyak, kata Robert Pakpahan, direktur jenderal pajak, Kementerian Keuangan.

Metode standar untuk menilai margin keuntungan perusahaan, misalnya, harus dilakukan manual oleh para petugas pajak, kata Pakpahan. “Harusnya bisa dilakukan oleh mesin dengan program otomasi, supaya akurat.

Sebagian besar dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 250 juta jiwa tidak membayar pajak. Bahkan kebanyakan tidak terbiasa dengan konsep membayar pajak. Hanya 38 juta penduduk Indonesia yang terdaftar sebagai wajib pajak, termasuk perusahaan dan kurang dari sepertiga melaporkan pembayaran pajak.

Selama program amnesti pajak yang berlangsung selama sembilan bulan dan berakhir Maret 2017, para wajib pajak yang lalai melakukan kewajibannya tidak mendapatkan hukuman. Mereka hanya diwajibkan membayar denda dalam jumlah kecil bila mereka bersedia melaporkan kekayaan lain yang belum dilaporkan. Program ini membantu pemerintah meraup aset yang belum dilaporkan senilai $330 miliar.

Dengan hanya memiliki 43.000 staf, Pakpahan, yang dilantik pada November lalu, mengatakan sulit untuk mengelola data sambil mengejar para wajib pajak yang enggan membayar pajak.

“Jumlah wajib pajak bertambah, data juga bertambah dan kita tidak bisa bergantung pada sistem manual. Karena itu kami akan membeli sistem yang canggih,” kata Pakpahan.

Indonesia akan membeli “core tax system” baru melalui tender tahun ini. Pemenang tender akan diumumkan tahun depan, kata Pakpahan. Dia memperkirakan akan butuh dana sekitar 3 triliun rupiah. Tapi, kata Pakpahan, bisa saja butuh dana lebih karena beberapa negara menggelontorkan $400-$500 juta untuk sistem yang sama.

Dengan teknologi baru, Pakpahan mengatakan, kantor pajak bisa lebih baik membuat profil wajib pajak dan mengungkap mereka yang mungkin tidak bayar pajak.

Sistem ini juga bisa menganalisis margin untuk membantu kantor pajak menemukan laporan-laporan keuangan yang dipalsukan atau kasus-kasus transfer pricing. Transfer pricing adalah ketika sebuah perusahaan mengekspor barang dengan harga rendah atau merugi ke salah satu afililiasinya agar bisa melaporkan keuntungan yang lebih rendah atau bahkan menghindari pembayaran pajak.

Penggunaan teknologi ini mungkin belum cukup untuk mencapai target rasio pendapat pajak 16 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2019, kata Pakpahan. Tapi ini adalah langkah maju untuk perbaikan. Rasio Indonesia sekarang adalah 11 persen terhadap PDB, salah satu yang terendah di Asia Tenggara.

Meski demikian, Pakpahan optmisi target pendapatan pajak tahun ini senilai 1.618,1 triliun rupiah akan tercapai, setelah tumbuh lebih dari 15 persen pada bulan-bulan awal 2018, dibanding periode yang sama tahun lalu.

Sumber: VoA Indonesia

Ikuti kami di akun media sosial resmi TAXVISORY:

LinkedIn

Facebook Page

Instagram Page